23 Februari 2011

Kenyataan Plurlisme yang menggoncang akidah umat Islam


PERCINTAAN ISLAM DAN KRISTEN
“One Love…One Heart…”
 

MUNGKINKAH sebuah kepercayaan disatukan, seperti kita mencampur makanan? Keinginan itu bagi sebagian orang bisa dilakukan. Bagi sebagian lagi, suatu yang mustahil dan tidak mungkin. Dalam perjalanan masa, banyak kepercayaan baru yang lahir dari kreatifitas seseorang. Bagai belanja di pasar swalayan, dia hanya mengambil barang yang diperlukan saja.
Sebuah kepercayaan memang bukan seperti barang di toko. Bisa diambil dan dipadu yang penting-penting saja. Yang tak disukai tak akan dilirik, apalagi dipilih untuk digunakan. Dan memang, bukan begitu sebuah kepercayaan diperlakukan.
Lalu bagaimana menyatukan para pemeluk agama-agama dalam kehidupan yang cantik, tanpa gesekan, prasangka atau curiga? Hanya dengan hati dan bersama cinta.
Bagi pemeluk agama Islam, mereka harus menyadari diri mereka sendiri dari kitab suci mereka juga, bahwa dunia tidak mungkin atau mustahil akan menjadi muslim semua. Ini akan menyalahi hukum alam dan kodrat manusia yang memang saling berbeda satu sama lain. Manusia bukan Asimo, robot buatan Jepang.
Sedang bagi pemeluk agama lain, aktifitas ekspansi meledakkan jumlah pemeluknya, bukan pekerjaan yang positif. Hanya membuang enerji dan potensi, yang lebih baik dilakukan untuk memberdayakan pemeluknya dalam segala hal. Bukankah sebagian besar pemeluk agama-agama hidup dalam nestapa dan kebodohan? Mengapa tidak mengurus masalah internal saja, daripada memperbanyak masalah menyebarkan ajaran, yang menjadi pemantik perselisihan dengan agama dan kepercayaan apapun.
Rumi, nama pendek dari Jalaluddin Rumi, punya resep jitu bagaimana hidup berbeda agama dengan harmoni bersama cinta dan hati. Dia seorang sufi (semacam gerakan mistik yang cenderung mengabaikan rasional) yang hidup saat Eropa menikmati jaman kegelapan. Rumi mengajarkan toleransi dan cinta.
Di dunia barat, namanya harum. Pangeran Charles memujanya, sampai harus datang ke kota kelahirannya untuk berpidato menandai 800 tahun kelahirannya. Bahkan dia mengajak Camilla, istrinya, berkunjung ke makam Rumi tahun 2007 silam. Madonna menggemari puisinya, Donna Karan mengutip puisinya sebagai disain pertunjukkannya. Oliver Stones bertekad ingin memfilmkan riwayat hidupnya. Rumi dipuja di barat dan tak begitu dihargai di dunia Islam.
Toleransi dan cinta yang diajarkan hanya bisa diterima oleh orang-orang tertentu yang menganggap hidup digerakkan oleh cinta dan hati, bukan doktrin yang kaku dan keras. Indonesia adalah negeri yang berdebar-debar bila disajikan tentang kehidupan toleransi beragama. Ketika Soekarno berkuasa, dia mengajarkan keduanya, toleransi dan cinta antar sesama pemeluk agama. Penggantinya, tak sanggup memikul dua-duanya. Ia hanya menjunjung tinggi toleransi, tidak sepenuh cinta. Ketika dia turun dari kekuasaan, kita kehilangan dua-duanya.
Untunglah masih ada pemimpin semacam Abdurrahman Wahid, yang menerjemahkan Rumi dengan kalimat baru yang asing didengar oleh banyak orang, sehingga dia juga dbenci banyak orang yang tak suka ada cinta dan toleransi dalam hidup beragama.
Toleransi, seperti yang diajarkan Rumi, tidak sama dengan “semua agama sama”. Agama atau kepercayaan jelas berbeda dan tak mungkin sama. Yang sama hanya rasa cinta pemeluknya untuk bersatu hidup berdampingan.
Dulu kita diperlihatkan dengan tindakan yang berbau politis, bahwa toleransi dan mungkin cinta bisa ada di panggung kehidupan bernegara. Presiden Soeharto berani mengadakan MTQ (lomba baca resital Quran) tingkat nasional di Manado (kota mayoritas berpenduduk Kristen) tahun 1977. Bukankah perancang Masjid Istiqlal juga seorang protestan?
Lebih gamblang lagi, negeri ini yang mayoritas Islam pernah dipimpin oleh seorang perdana menteri beragama Kristen, Amir Sjarifuddin. Ini mungkin kejadian pertama di dunia. Bahkan Presiden Soekarno di akhir kekuasaannya, punya wakil kesayangan, yaitu Johannes Leimena, seorang dokter Ambon Kristen, yang dapat menjadi presiden bila Soekarno tiba-tiba terjadi sesuatu.
Sebenarnya kita bisa meniru kehidupan beragama di Timur Tengah. Di sana Islam dan Kristen hidup berdampingan. Mereka berkelahi bukan karena agama, tetapi masalah kepentingan. Di Palestina, yang masyarakat plural, kehidupan beragamanya sangat harmonis. Pernah di tahun 1994, Presiden Yasser Arafat mendapat hadiah Natal dari Santa Klaus, berupa lukisan bertuliskan ayat Qursi (ayat paling agung dalam Quran).
Ilustrasi di atas hanya sekilas kecil untuk menggambarkan bahwa agama memang tidak bisa disatukan dengan apapun, kecuali dengan cinta dan hati. Sulit melukiskan bagaimana itu bisa terjadi, karena ini masalah rasa dan kasih. Hanya hati Anda yang bisa merasakannya. Satu cinta…satu hati… Let's get together and feel all right. (*)
You said you would wait for me, but something went wrong
The house was empty, your pictures gone
I knew you'd come back one day, our love was so strong
The past behind us, it's here you belong
'Cause I'm deep inside you, you're deep inside me
I always knew that we would always be
Two hearts forever, one heart alone, I need to know your love is mine
Two hearts forever, one heart alone, I won't let go of you this time
You could've talked to me, what changed your mind
I could have been there by your side
You thought you could walk away, but you know that's a lie
This loneliness is hard to hide
It's so easy to surrender, and temptation always finds a way
You must hold on, you know we must hold on, whoa-oh-oh

-------------------------------------
kepelbagaian bentuk penganjuran puak pluarlisme yang kian meluas menyebarkan fahamannya untuk mengabui umat Islam dan sekali gus merobohkan benteng akidah umat Islam. Mereka dibiayai dan ditaja oleh puak Zionis Amerika bagi melancarkan secara licik dengan menggunakan beberapa tokoh Islam yang berpengaruh untuk memudahkan tindak-tanduk mereka diterima dan direalisasikan.
Sesungguhnya Agama Islam tidak sama taraf dengan agama-agama lain kerana hanya Islamlah agama benar yang diiktiraf oleh Allah bedasarkan Ilmu akidah Islam (Tauhid).
Malah tidak ada kompromi untuk menyatakan atas dasar kebebasan, keadilan mahupun hak asasi, Islam berdiri atas nilai al_Quran, Hadis, Qias dan Ijmak Ulama bagi menyatakan bahawa kebenaran Islam tidak ada tolok-bandingnya dengan mana-mana agama di dunia ini. Sebarang penilaian baru yang mengatakan Islam dan agama-agama lain sebagai sama dan benar adalah ditolak kerana ia sekali gus membawa kekufuran bagi umat Islam.

Nik Aziz amal politik Machiavellian?

Mursyidul Am Pas, Nik Aziz Nik Mat dilihat semakin jauh menyimpang daripada agenda utama partinya apabila terus-terusan mengamalkan konsep falsafah politik Machiavellian, iaitu sanggup melakukan apa saja asalkan matlamat untuk mendapatkan kuasa tercapai.
Pensyarah Sains Politik, Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof Dr Shamsul Adabi Mamat melihat tindakan Nik Aziz lebih cenderung ke arah agenda politik daripada untuk menegakkan agama Islam.
Hanya kerana mahu menunjukkan kesetiaan kepada sekutu pakatan pembangkang khususnya menjaga hati kawan iaitu DAP, perjuangan Pas yang asal untuk menegakkan hukum hudud kini telah berubah menjadi perjuangan membela bangsa lain iaitu DAP, katanya kepada UMNO-Online.
Katanya, tindakan Nik Aziz yang seringkali mengeluarkan pelbagai fatwa dan kenyataan-kenyataan kontroversi berkaitan agama sebenarnya adalah tindakan bersifat politik semata-mata.
Hudud sekarang hanya tinggal kenangan kerana apa yang Nik Aziz lakukan menterjemahkan bahawa matlamat beliau menghalalkan cara sebagaimana kesongsangan Machiavellian sendiri, katanya.
Falsafah politik Machiavelli cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kuasa malah ia melihat bahawa pemimpin mestilah bijak untuk mengaburi mata rakyat biarpun bersikap prejudis terhadap agama atau menafikan peranan agama demi kuasa walaupun persepsi dari sudut moralnya amat buruk.
Dalam hal ini, Nik Aziz lebih dilihat kepada seorang yang tidak berpendirian sehinggakan segala isu yang muncul atau diperlakukan oleh DAP terhadap Islam akan dianggap sebagai bukan perkara besar.
Dalam hal ini, Nik Aziz lebih dilihat kepada seorang yang tidak berpendirian sehinggakan segala isu yang muncul atau diperlakukan oleh DAP terhadap Islam akan dianggap sebagai bukan perkara besar.
Sebagai parti politik, Nik Aziz sanggup melakukan apa sahaja demi memastikan kepentingan politik mereka terjamin dan menghalalkan apa yang mereka lakukan sedangkan kalau dulu mereka kata bekerjasama dengan orang kafir, akan jadi kafir, tetapi kini mereka melakukan perkara sama dan dipertahankannya dengan pelbagai alasan.
Ujarnya lagi, banyak situasi telah membuktikan bahawa Nik Aziz sanggup menukar tafsiran terhadap Islam kerana politik.
Nik Aziz adalah pemimpin Pas paling cekap dalam memanipulasi pemikiran dan menukar tafsiran mengikut keperluan politik sedangkan dalam masa yang sama sebenarnya dia tersepit antara tuntutan agama dan matlamat politik itu sendiri.
Niat Nik Aziz adalah mahu menggantikan UMNO dan memainkan peranan dalam pakatan pembangkang sebagaimana UMNO menjadi tunjang dalam Barisan Nasional tetapi bagaimana mungkin ia akan menjadi realiti soalnya.
Terang beliau, jika Nik Aziz memasang angan-angan untuk Pas menjadi seperti UMNO yang dapat menjadi teraju maka tentunya Pas perlu bertanding dalam semua pilihan raya umum dan menguasai lebih daripada 100 buah kerusi.
UMNO pernah melakukannya apabila dalam Pilihan Raya Umum 2004 mampu membina kerajaan sendiri namun masih mengekalkan persefahaman dengan parti lain dalam BN sedangkan Pas gagal membentuk kesepakatan dan lebih bersifat sebagai menurut kehendak DAP semata-mata.
Soal beliau lagi, apakah semua ini dilakukan oleh Nik Aziz kerana percaya DAP akan lebih menghormati Islam daripada UMNO sendiri.
Biarpun Nik Aziz pernah menyatakan keakrabannya dengan DAP adalah untuk mentarbiah mereka dan memberi lebih kefahaman berkaitan Islam sedangkan dalam masa yang sama kita dapat melihat bagaimana pendirian mereka biarpun pemimpin DAP mempermainkan ayat-ayat Quran dan mempersenda Islam.
Tegasnya lagi, Mursyidul Am Pas itu juga pernah menyuarakan bahawa hubungan tersebut membolehkan Pas memperkenalkan Islam kepada DAP kerana perkara itu gagal dilakukan oleh UMNO.
Dengan pentadbiran dalam BN yang ditunjangi UMNO, Perdana Menteri juga pernah mengisytiharkan Malaysia sebagai sebuah negara Islam dan negara ini telah model negara Islam di persada antarabangsa sedangkan Pas yang hanya mentadbir Kelantan pun gagal untuk membangunkannya.
Dipetik daripada blog MediaUMNO.

Bangga berbangsa dan bernegara

-A. AZIZ DERAMAN

Tirai tahun 2010 telah pun dilabuhkan. Malaysia berada di pentas dunia dengan cukup bergaya. Di sana sini ada banyak peristiwa suka duka manusia dan alam. Manusia tidak habis-habis bertelingkah. Percikan api permusuhan mulai membesar di Semenanjung Korea. China bangun menjadi ‘musuh’ baru saingan ekonomi Amerika Syarikat. Dalam tenang, China berlangkah tekun tanpa mengganggu urusan dalaman negara lain. Ekonomi India juga ikut membesar.

Asia sedang berubah dan akan memukau Amerika dan Eropah. Tahun 2010 menyaksikan bencana alam, ada letupan gunung berapi, gempa bumi, banjir besar, kemarau panjang, kebakaran hutan, salji turun luar biasa, tsunami, penderitaan dan sebagainya. Peristiwa suka-duka itu tidak terkecuali bagi Malaysia. Kita duka kerana di Malaysia ada jebak-jebak jenayah berprofil tinggi, pembunuhan, rompakan bersenjata, ada pemimpin politik yang terus menerus menghina negara sendiri. Ada sifat-sifat kederhakaan dan kerendahan moral. Tetapi ‘biarkan Si Luncai terjun dengan labu-labunya’.

Ya, Malaysia cukup bergaya ketika tirai 2010 dilabuhkan. Skuad ‘Harimau Malaya’, pasukan bola kebangsaan kita menggembirakan setiap warga Malaysia. Kebanggaan dirasakan pemimpin tertinggi sampai ke rakyat jelata. Perdana Menteri, Datuk Sri Mohd Najib sangat berbangga, lalu beliau menghadiahkan satu hari cuti. Syabas dan tahniah atas kejayaan menundukkan ‘Garuda Indonesia’ dengan agregat 4-2. Kemarau 14 tahun dan kerinduan menjulang Piala Suzuki AFF 2010 telah terubat pada malam 29 Disember. Kemenangan itu dilakukan di Jakarta di depan puluhan ribu penyokong Indonesia. Kemenangan itu mengukuhkan lagi jiwa satu bangsa Malaysia. Itulah semangat kesatuan yang jitu, patriotisme dan daya juang tinggi. Itulah yang kita mahukan.

Di dunia ini tidak ada orang tidak berbangsa dan bernegara. Orang pelarian pun bangga dengan bangsa dan negara mereka, meskipun terpaksa bernaung dan mengharapkan pertolongan UNCHR. Lihat nasib yang dialami orang Myanmar di Malaysia atau keturunan Rohingya. Pelarian rakyat Zimbabwe ke Afrika Selatan, sanggup dengan anak beranak menyeberangi sempadan, tanpa dokumen yang sah, sedia berdepan dengan risiko demi sebuah kehidupan yang terjamin. Di Malaysia pun, ribuan orang dari negara-negara jiran menjadi pendatang tanpa izin, rela terkorban karam di Selat Melaka, demi sesuap nasi. Di negara asal kehidupan mereka itu lebih daif, tidak ada peluang pekerjaan, tiada latihan kemahiran diberikan, tiada peluang pendidikan, dibaluti kemiskinan kota dan desa.

Apakah kita masih belum mensyukuri kehidupan kita bernegara?. Apakah kita tidak bangga menjadi milik kepada satu-satu bangsa. Orang Melayu ada bangsa Melayunya, orang Cina ada bangsanya. Orang India, Pakistan, Sri Lanka ada bangsa dan negara asalnya. Apabila nenek moyang bangsa-bangsa tadi memilih untuk menjadi rakyat dan warga negara Malaysia, maka mereka kini ‘berkebangsaankan’ Malaysia. Ras asal mereka tetap kekal. Bumi baharu yang mereka pijak, langit baharu yang mereka junjung adalah bumi Malaysia. Negara China atau India bukan lagi negara mereka. Cuma kini keutamaan kepentingan berbangsa dan bernegara itu, kebanggaan, ketaatsetiaan politik dan hidup mati kerana Malaysia. Mereka mesti bangga berbangsa Malaysia dan bernegarakan Malaysia, merasai kehebatannya.

Anehnya, mungkin kerana geram atau dendam perkauman dan politik, sudah ada orang tanpa segan silu mahu menolak institusi raja, agama negara, bahasa negara dan rancangan yang adil untuk membantu kehidupan masyarakat yang daif khususnya Melayu dan bumiputera.

Anehnya juga, sudah ada orang tidak bangga akan bangsanya, sebagai bangsa Melayu. Kadang-kadang mengajak orang berdoa agar Allah SWT memusnahkan seseorang pemimpin tertentu. Penulis memang pelik dengan orang tidak bangga jadi Melayu, kalau dia itu berdarah Melayu. Cina Malaysia pun sangat bangga kerana etniknya. Cuba lihat Israel, Jepun, Korea, Jerman, Perancis, Itali. Rakyatnya amat bangga dengan bangsa mereka. Bangsa Indonesia dan Thailand pun sangat menyayangi bangsa dan negara mereka. Amerika atau Australia sahaja tidak ada bangsa. Warganya adalah kaum pendatang dan masih mahu dikenali dengan nama bangsa asal. Israel pula bangga kerana Tuhan telah menganugerahkan mereka para anbia. Israel sangat menyanjung sejarah sendiri. Orang Palestin pun ada bangsanya. Orang Arab pun bangga akan bangsanya yang disatukan oleh satu bahasa.

Apabila Melayu tidak bangga jadi Melayu, maka Melayu itu sudah lupa akan peranan bijak pandai bangsanya zaman berzaman. Mereka tidak bangga dengan persuratan Melayu, tidak berbangga dengan peranan para ulama dan tokoh pemikir besar seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf Singkel, Syeikh Samsuddin al-Sumatrani, Syeikh Ahmad Patani, Syeikh Daud Fatani, Tokku Tuan Besar, Tuk Kenali, Syekh Abdul Samad al-Palembani, Syeikh Muhammad Arshad al-Banjari, bahkan ratusan ulama lain tersohor di Alam Melayu. Kita juga mungkin tidak berasa bangga dengan legenda bangsa seperti Hang Tuah lima bersaudara, Sultan Mansor Shah, Tun Perak, dan nama-nama besar lain yang berjasa; tidak bangga akan para ilmuan dan pengarang silam seperti Tun Sri Lanang, Abdullah Munshi, Syed Sheikh al-Hadi, Raja Ali Haji, Za’ba, Hamka atau tokoh-tokoh penentang kolonial seperti Datuk Bahaman, Mat Kilau, Tuk Janggut dan tokoh-tokoh moden Malaysia seperti Tunku Abdul Rahman, Tun Razak, Ishak Haji Muhammad, Dr Burhanuddin al Helmy, dan banyak lagi yang berjasa kepada agama, bangsa dan tanah air.

Malang sungguh kalau ada antara kita tidak bangga menjadi Melayu, sedangkan Allah SWT seperti firmannya sudah menjadikan manusia itu lelaki perempuan dan berbangsa-bangsa agar kita kenal mengenali antara satu sama lain.

Kalau kita tidak bangga menjadi Melayu, maknanya kita menolak sejarah keagungan bangsa sendiri. Kita hilang kebanggaan terhadap kegemilangan sebuah Sriwijaya, keagungan Empayar Melayu-Islam Melaka, kesultanan Kelantan-Patani, Johor Riau, Aceh dan sebagainya. Singapura bangga dengan sejarah moden mereka, apabila sejarahnya berjaya ditukarkan, diputuskan hubungan dengan Melayunya. Sejarah Singapura moden hanya dimulakan pada tahun 1819, tahun kolonial Inggeris bertapak. Sedangkan asal Singapura itu hak milik pemerintahan dan ketuanan kesultanan Melayu Johor. Sejarah nama Singapura dari sempena nama singa atau peranan Sang Nila Utama sudah dipadamkan. Ingat, kebanggaan kita berbangsa dan bernegara, tidak sama dengan kebanggaan Israel. Juga tidak seperti ketaksuban bangsa Arab kepada kabilah sendiri. Israel merampas hak orang, meruntuhkan negara orang, dan hak orang dikatakan hak sendiri. Sejarah akan berubah jika kita mengubah persepsinya dan kita tidak berusaha mengangkatkan peradaban sendiri.

Orang yang tidak bangga berbangsa Melayu itu mungkin bimbang dengan istilah ketaksuban. Kita patut gunakan istilah itu dalam konteksnya yang luas, sebagaimana tafsiran Ibn Khaldun.

Keterbukaan dan sifat akomodatif Melayu sejak berabad-abad lamanya yang sentiasa cintai kedamaian, ada prinsip-prinsip penerimaannya. Lihat bagaimana Selat Melaka itu mengakibatkan munculnya sifat kosmopolitan, kehidupan kota asal pelabuhan, seperti pelabuhan Melaka, Singapura dan Pulau Pinang atau kota-kota maritim yang lain di Indonesia, Filipina dan Brunei Darussalam.

Kebanggaan berbangsa dan bernegara tidak sama dengan ketaksuban atau al-asabiyyah terhadap bangsa sendiri. Bangsa Melayu tahu sempadannya dan mereka tahu bahawa kemajuan bangsa akan mendorongkan kemajuan kepada Islam, agama yang mereka anuti.

Dirantau dunia Melayu, ada istilah bangsa serumpun Melayu sebab ada asas-asas kesatuan yang sama. Ras Melayu atau bangsa besar Melayu itu terbahagi-bahagi kepada kepelbagaian suku bangsa. Kalau Tanah Melayu itu negara induk bangsa Melayu, maka suku bangsa serumpun Melayu yang lain itu adalah suku Minang, Batak, Aceh, Jawa, Banjar, Bugis, Sunda atau sukuan di Sabah dan Sarawak seperti Iban, Bidayuh, Kadzandusun, Bajau, Melanau, Murut dan puluhan lagi.